Hariannetwork.com – Aceh – Menanggapi kisruh dualisme kepengurusan Yayasan Gajah Putih. Salah seorang alumni Universitas Gajah Putih, Mustaqim memberikan tanggapan terkait hal tersebut.
Bahwa pada tahun 1984 seluruh lapisan masyarakat Aceh Tengah menyampaikan aspirasinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Aceh Tengah untuk mendirikan Universitas Gajah Putih di kabupaten Aceh tengah.
Maka dengan demikian melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Aceh Tengah mengeluarkan Keputusan dengan nomor. 421.4/06/1984 tanggal 28 juli 1984 tentang pendirian Perguruan Tinggi di Takengon melalui keputusan Bupati Nomor 19/1984 tanggal 16 November 1984 tentang pembentukan Panitia Pendirian Universitas di Takengon.
Delapan (8) personil tersebut antara lain : Drs. Mahmud Ibrahim, Drs Samarnawan, Drs. Mustafa Ali, Drs. Arifin Mr Bantacut, Haroen Ug, Drs Muhammad Syarif, Jafar Ismail dan Drs. M.Yusuf Rawakil.
Dalam hal tersebut dengan langkah awal panitia melalui Akta Notaris Hj. Zahara Pohan. SH. ( Akta Notaris nomor 37 tanggal 25 februari 1986) yang kemudian di sempurnakan melalu akta notaris Usni Usman Husin. SH Banda Aceh (Akta Notaris nomor 115 tanggal 24 Juli 1990 yang selanjutnya disesuaikan dengan UU nomor 16 tahun 2001 dengan Akta Notaris Cendri Nafis Mariesta. SH Akta Notaris nomor 87 tanggal 28 April 2010 dan telah mendapatkan pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkum dan HAM RI ) nomor AHU : 116. AH.01.04. tahun 2011 tanggal 10 Januari 2011.
Akar masalah runyamnya Yayasan Gajah Putih dan berimplikasi ke Universitas Gajah Putih (UGP) adalah, adanya perubahan Dewan Pembina yang dilakukan oleh Almarhum bapak Samarnawan, Mustafa Ali dan Vimartian Sagara Tarigan, pada Notaris Cendri Nefis, tertanggal 20 Februari 2019, dengan menggantikan Pembina yang lama menjadi Pembina yang baru. Notabene anak-anak pendiri yaitu Drs. Mustafa Ali, Eliyin, M.Hut, Dr. Abdiansyah Linge, anak dari Bapak Mahmud Ibrahim, Fitra Gunawan, anak dari Pak Samarnawan, dan King Rawana Saputra anak dari Pak Syarif.
Dalam regulasi Dikti, tidak diperbolehkan Yayasan menjadi Pejabat Struktural Kampus, Dosen dan Staf Kampus. Faktanya Eliyin dalam Akte perubahan Pembina Yayasan, masuk sebagai anggota Pembina yang juga merupakan Rektor UGP. Ini sudah sangat menyalahi aturan Undang-undang yayasan dan Undang-undang Perguruan Tinggi.
Dari Struktur yayasan yang ada, memang ada unsur sengaja, bahwa adanya usaha untuk menghilangkan sejarah Yayasan Gajah Putih yang murni dibangun oleh Pemda dan DPRD tingkat II Aceh Tengah pada tahun 1984.
Didalam Akte terbaru tidak lagi terdapat unsur Pemerintah Daerah (Pemda) didalam Akte, sehingga terlihat ada kesan bahwa para panitia Pendirian Perguruan Tinggi tinggi yang dibentuk oleh DPRD dan Pemda tingkat II dihilangkan oleh oknum pendiri itu sendiri.
Mereka lupa, bahwa pada saat mereka menjadi panitia penyelenggara pendirian Perguruan Tinggi di Kabupaten Aceh Tengah adalah selaku pejabat di daerah, akibat jabatan itupun mereka masuk kedalam Panitia Pendirian Perguruan Tinggi tinggi.
Terlihat juga Kondisi yang saat ini terjadi di tubuh UGP memiliki dua Rektor diakibatkan karena adanya dua kubu di tubuh yayasan gajah putih. Ada pengurus yayasan yang memberhentikan Aliyin, M.Hut sebagai rektor dan mengangkat Dr. Adnan sebagai Rektor Baru.
Faktanya sampai hari ini Aliyin, M.Hut masih menganggap dirinya sebagai Rektor. Disisi lain Pak Mustafa Ali menganggap belum pernah memberikan mandat kepada bapak Abdiansyiah Linge sebagai Ketua Pengurus Yayasan.
Beredar surat penetapan Pembina Yayasan Baru lagi dengan memasukkan semua anak-anak pendiri, tanpa melibatkan Pemda sebagai Pemilik Yayasan yang sah. Dari Akte awal diselenggarakan oleh pemda dan pembangunannya pun menggunakan dana Pemda.
Padahal rapat yang diselenggarakan oleh Pak Pj Bupati, tertanggal 5 Nopember 2023 di Pendopo Bupati dihadiri oleh Pak Nasruddin dan Pak Sabella Abubakar selaku mantan Bupati Aceh Tengah, disepakati bahwa ada 7 orang dari Pemda dan 5 dari Pengurus Lama yang akan duduk di Kepengurusan Yayasan Gajah Putih (YGP) yang baru, dengan mengisi Struktur Yayasan terdiri dari Pembina, Pengawas dan Pengurus Yayasan.
Rapat ini ingin mengembalikan keberadaan YGP yaitu milik masyarakat bukan milik perorangan/ kelompok apalagi warisan.
Maka Dari sejarah Universitas UGP sudah jelas bahwa Universitas itu adalah milik rakyat Aceh tengah bukan milik para panitia dan di wariskan, dan sudah seharusnya setelah terbentuknya perguruan tinggi di wilayah tengah di kembalikan ke masyarakat, yang di wakilkan oleh DPRK dan Bupati, sehingga DPRK dan Bupati membentuk kembali siapa dan mengapa yayasan di isi oleh orang-orang yang di tunjuk oleh Pemda.
Sampai hari ini UGP belum juga di kembalikan oleh panitia yang ditunjuk oleh Pemda, dan wajar saja UGP sampai sekarang di klaim dan dimiliki oleh panitia pendiri dan anak-anak almarhum panitia pendiri.
Pemda harus mengambil alih UGP untuk sementara dan menunjuk yayasan yang baru dengan tidak melibat kan lagi panitia dan anak-anak Almarhum selaku Panitia Pendiri UGP agar tidak terkesan UGP sebagai harta yang di tinggalkan oleh panitia-panitia pendiri UGP tersebut.
Karena akar masalah yang terjadi di tubuh Universitas Gajah Putih Takengon ada di Yayasan yang selalu mengobok-obok Universitas.
Maka dari itu sudah saatnya Pemda harus turun tangan secepatnya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di UGP agar mahasiswa tidak menjadi korban atas keberingasan nafsu dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Masyarakat hari ini menganggap Pemda tidak peduli dengan pendidikan di Aceh Tengah, ketidak pedulian pemda terlihat ketika pendidikan sudah dipolitisasi oleh oknum-oknum yang merasa UGP adalah warisan yang di tinggalkan oleh Almarhum panitia pendiri UGP.
Penulis, Mustaqim Alumnus Universitas Gajah Putih Takengon. Zkr